Akhir-akhir ini, masalah kebimas-Islaman masyarakat kita, dari waktu ke waktu menghadapi tantangan yang berat. Berbagai persoalan kerumahtanggaan dan pengamalan ajaran agama, dakwah Islam, pengelelolaan zakat dan wakaf, dan masalah pelayanan teknis lainnya mengalami berbagai dinamika akibat pesatnya perkembangan teknologi informasi yang sangat mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Sebagai contoh, pengaruh TV, internet, HP, radio dan teknologi digital lainnya, sedikit banyak telah merubah mindset, perilaku, dan keyakinan masyarakat dalam beragama, seperti banyaknya kasus kawin-cerai, pelemahan dakwah Islamiyah, menurunnya semangat ketaatan beragama dan lain sebagainya.
Fenomena tersebut menjadi perhatian Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam untuk meningkatkan peran yang lebih nyata dan signifikan, baik pada level nasional maupun level global. Karena garapan-garapan itulah yang menjadi fokus utamanya, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, cerdas, dan toleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI.
Salah satu fokus penting yang sedang dan akan dilakukan Ditjen Bimas Islam adalah pembenahan keorganisasian non struktural di bawah pembinaan Ditjen Bimas Islam. Kajian tentang pentingnya pembenahan keorganisasian ini telah dilakukan dalam beberapa waktu terakhir. Bahkan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Departemen Agama beberapa waktu yang lalu menjadi salah satu agenda materi pembahasannya. Salah satu alasan kenapa ide ini diusung, yaitu karena untuk menyesuaikan dengan berbagai peraturan perundangan yang mengharuskan Ditjen Bimas Islam melakukan penyesuaian dan penertiban tentang lembaga-lembaga keagamaan yang dibentuk melalui Keputusan Menteri Agama (KMA).
Kondisi Obyektif
Lembaga-lembaga semi resmi di lingkungan Ditjen Bimas Islam, yaitu P3N (Penyelesaian Pembantu PPN), BKM (Badan Kesejahteraan Masjid), BP4 (Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian), BHR (Badan Hisab Rukyat), LP2A (Lembaga Pendidikan dan Pengamalan Agama), dan LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran) sejak dibentuk hingga saat ini dinilai belum berkembang secara optimal, baik dalam lingkup organisasi maupun output program kerja yang dilakukan.
Belum optimalnya lembaga-lembaga dimaksud dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Problem keorganisasian. Secara organisasi, lembaga-lembaga tersebut sebagai lembaga semi resmi pemerintah. Yaitu, lembaga yang dibentuk melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) dengan menyebut tugas dan fungsi yang dibiayai oleh dana pemerintah, namun tidak dalam struktur hirarki pemerintahan. Karena merupakan lembaga semi resmi pemerintah, lembaga-lembaga tersebut hanya mengandalkan dari bantuan biaya pemerintah yang sangat terbatas. Keterbatasan sumber dana tersebut, secara organisatoris, menjadikan kurang optimalnya lembaga-lembaga dimaksud. Bahkan dalam beberapa kasus tidak berfungsi sama sekali.
2. Problem Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam struktur keorganisasian, lembaga-lembaga tersebut lebih banyak melibatkan dari unsur pemerintah, yaitu PNS di tingkat daerah. Namun, dalam realitas di lapangan sering ditemukan kurang optimalnya kinerja lembaga karena tipisnya pembedaan SDM sebagai ex-officio yang juga menangani masalah-masalah secara bersamaan. Antara menjalankan visi kepemrintahan dan visi keorganisasian yang ditangani oleh SDM yang sama mejadi kurang optimal dalam realitas di lapangan.
3. Problem kegiatan yang diselenggarakan. Meski dalam setiap pembentukan lembaga-lembaga tersebut melalui KMA yang menyebut tugas dan fungsi, namun dalam realisasinya akan terjadi kekaburan batas tugas instansi pemerintah dan lembaga. Karena dalam tugas dan fngsi lembaga-lembaga dimaksud juga menjadi tugas dan fngusi instansi.
4. Problem sumber pembiayaan. Eksistensi lembaga-lembaga tersebut selama ini didukung penuh oleh dana pemerintah atau dana yang diperoleh melalui kebijakan pemerintah, seperti subsidi melalui prosentase dari biaya bedolan nikah yang nota bene dalam kategori pungutan dari masyarakat dalam kategori PNBP. Namun demikian, seiring dengan upaya pemerintah yang mengatur pengetatan pengelolaan dana pemerintah melalui Keputusan Menteri Keuangan yang menyebutkan bahwa instansi pemerintah tidak diperbolehkan memberi bantuan dana bagi organisasi yang bukan instansi vertikal. Dengan kondisi tersebut, maka eksistensi lembaga-lembaga dimaksud akan mengalami kendala pembiayaan dan harus dicarikan jalan keluar yang solutif.
Reposisi Kelembagaan
Untuk meningkatkan kapasitas peran keorganisasian lembaga-lembaga di atas dalam menunjang berbagai program dan kebijakan pemerintah secara lebih optimal, maka diperlukan penataan secara komprehensif. Sistem penataan yang saat ini sedang digodok oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam adalah:
§ Melepaskan ikatan keorganisasian dari lembaga semi-resmi pemerintah menjadi lembaga-lembaga independen yang memiliki struktur, arah kebijakan dan sumber pembiayaan mandiri melalui revisi KMA yang memayunginya. Pelepasan ikatan keorganisasian dimaksudkan untuk memberi ruang yang lebih luas untuk mengembangkan visi-misi kelembagaan yang tidak berhenti dan bergantung dengan pemerintah, seperti mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga yang dapat dilakukan oleh BKM, BHR, LPTQ untuk memperkuat kapasitas peran kelembagaan yang lebih optimal.
§ Status kelembagaan yang independen, pemerintah tetap dapat mendukung secara lebih optimal dengan memberikan bantuan dana melalui anggaran DIPA Pusat atau Daerah yang tidak bertentangan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang melarang pemberian bantuan dana bagi organisasi yang bukan instansi vertikal.
§ Agar pemerintah tetap dapat memberikan dukungan penuh terhadap peningkatan kapasitas peran lembaga-lembaga tersebut, Ditjen Bimas Islam mengusulkan agar tugas dan fungsi (TUSI) kelembagaannya dimasukkan dalam nomenklatur instansi di lingkungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, sebagai contoh: Direktorat Penerangan Agama Islam memiliki Sub Direktorat Penyuluhan Agama Islam dengan Seksi: (1) Pembinaan Penyuluh Agama, (2) Pemberdayaan Lembaga Dakwah, dan (3) Pengembangan Materi dan Metode Penyuluhan. Untuk mendukung lembaga LP2A, maka TUSI dimasukkan dalam struktur seksi menjadi: (1) Pembinaan Ketenagaan Lembaga Dakwah, LP2A dan Majelis Ta’lim, (2) Pemberdayaan lembaga Dakwah LP2A dan Majelis Ta’lim, dan (3) Pengembangan Materi dan Metode Penyuluh.
Langkah Penyelesaian
Sesuai dengan agenda pembahasan dalam RAKERNAS DEPAG beberapa waktu yang lalu, terdapat wacana penataan dan penyelesaiannya, diantaranya dijelaskan sebagai berikut:
1. Badan Kesejahteraan Masjid (BKM)
– Fungsi BKM diintegrasikan ke dalam Tugas dan Fungsi Ditjen Bimas Islam dan bidang di Kanwil serta seksi di Kandepag yang relevan.
– Pendataan aset BKM di semua daerah dan melaporkan hasil pendataan ke Departemen Agama Pusat.
– Aset BKM yang berasal dari pemerintah di kembalikan kepada pemerintah, sedangkan aset dari wakaf dikelola oleh Nazhir.
2. Badan Hisab Rukyat (BHR)
– Kedudukan BHR diperkuat dalam upaya memperkuat peran Pemerintah dalam penyatuan umat Islam terkait penetapan Kalender Hijriyah dan hari-hari raya Islam
– BHR menjadi lembaga yang berfungsi memberikan kajian dan pengembangan tentang hisab dan rukyat serta memberi masukan teknis kepada Menteri Agama tentang penetapan kalender Hijriyah dan hari-hari raya Islam.
– BHR diperluas keanggotaannya dengan melibatkan unsur organisasi keagamaan, lembaga terkait, dan perorangan yang memiliki keahlian yang relevan.
3. Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ)
– Penguatan peran dan fungsi LPTQ yang tidak terbatas hanya pada penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an dan sejenisnya diberbagai tingkatan.
– LPTQ mempunyai tugas dan fungsi pembinaan dan pengembangan pendidikan non formal dan informal di bidang Al-Qur’an dan pelatihan Qori dan Qoriah, Hafidz dan Hafidzah, dan sejenisnya diberbagai tingkatan.
– Mengoptimalkan peran instansi terkait dan Pemerintah Daerah dalam mendukung program LPTQ.
4. Lembaga Pendidikan dan Pengamalan Agama (LP2A)
– Mengintegrasikan tugas dan fungsi LP2A kedalam fungsi penyuluh agama PNS di Kantor Urusan Agama (KUA).
– Penyuluh agama berperan sebagai ujung tombak untuk mengidentifikasi dan melakukan pembinaan aliran-aliran keagamaan yang dianggap menyimpang dan membina kerukunan umat beragama.
– Penegasan fungsi pembinaan calon pengantin yang diintegrasikan kedalam tugas dan fungsi KUA dengan pembinaan dan advokasi masalah perkawinan dan perceraian bagi masyarakat umum yang menjadi tugas BP4.
– Peran pembinaan dan advokasi oleh BP4 mencakup upaya penasehatan, preventif dan penyelesaian masalah keluarga serta mendorong terwujudnya keluarga sakinah.
– BP4 diarahkan sebagai lembaga yang independen dengan koordinasi ke Departemen Agama dan keberadaannya diatur oleh Menteri Agama.
– BP4 dijadikan satu-satunya lembaga mediasi bagi pasangan yang mengajukan cerai ke pengadilan.
5. Pembantu PPN (P3N)
– Mengintegrasikan fungsi P3N menjadi tugas dan fungsi pembantu penyuluh agama (honorer) yang ditugaskan oleh Departemen Agama disetiap desa/kelurahan;
– Tugas dan fungsi pembantu penyuluh agama dimaksud disamping membantu tugas-tugas kepenghuluan, juga melaksanakan tugas membantu penyuluh dalam pembinaan umat;
– Dengan pengalihan fungsi P3N tersebut, maka anggaran untuk tenaga penyuluh honorer dialihkan untuk pembantu penyuluh agama. Dengan demikian permasalahan tuntutan P3N untuk memperoleh honor dari Departemen Agama dapat diatasi. (bieb : SUMBER WWW.BIMASISLAM.COM)